HAMUNGKASI JAMAN KALATIDHA HAMIWITI JAMAN KALASUBA

---------------------------------------------------------

RINGKASAN NASKAH KUNO

SERAT SABDO PALON

MUNGKASI JAMAN KALATIDHA

HAMIWITI JAMAN KALASUBA

---------------------------------------------------------

Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gegolonganira, triloka lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda.

Hawa nafsu yang tumbuh subur membengkak dalam jiwa dan raga manusia itu, meliputi tiga alam yang terdapat dalam manusia, Triloka namanya, tri itu tiga, loka itu tempat, jadi Triloka artinya tiga tempat, yaitu pikiran, perasaan serta keinginan, atau cipta-rasa-karsa namanya. Jika hawa nafsu dibiarkan tumbuh subur dalam Triloka manusia, malapetaka jadinya bagi manusia.

 

Eka bumiDwi sawahTri gunung-gunung, Catur samudraPanca taruSad pangonanSapto pandhitaHastha tawangNawa dewaDasa ratu

 

 

Goro-goro ..... !!!


Goro-goro, apa ta pratandane goro-goro, pratandaning goro-goro, tangising bumi, tangising langit, wanter ngyanira goro-goro ing ngarca pada, tangising bumi ana lindu sedina ping pitu, tangising langit udan barat salah mangsa, sindung riwut bleduk katon mangampak-ampak katiyuping maruta, tirtaning samudra mbludak aneng ndaratan, nglelepi jagat sak isine, akeh kayu seprongkal rong prongkal samya rungkat mblasah pindha babatan paceng, sato wana samiya mlajar pados papan panggesangan dewe-dewe, satemah ngakak tutuke Sang Hyang Ananta Boga, kopat-kapite petite Hyang Ananta Boga, pindha pecut penjalin tingal kaya datan kuwawa nyangga bumi.

Awit saking bantering goro-goro ing ngarca pada, sahingga ndadekake gunung tarung pada gunung, kayu handam kayu nebah sami pasulayan, bumi genjot bumi ngendelong, kluwung pating palengkung, teja manjala-njala, menceng wot ogal-agil, rengut sungune Lembu Andini, ompak Bale Mercupunda kaya jebol-jebola, kaya doyong-doyonga, Lawang Sela Manangkep kaya ambruk-ambruka, Kawah Candra Dimuka pindha Kinoclak-kocak, kinebur-kebur, geger para hapsara hapsari sami njeleh kepati, keparengira sami ngungsi wonten ngersane Hyang Lodrapati, jagat ngarcapada katon peteng ndedet leliwengan awit katempuhing goro-goro, Saknalika Hyang Pada priksa horeking goro-goro ing ngarcapada, sigra nyandak Banyu Panguripan katetesaken ing ngarca pada, sirep pada sakala goro-goro ing ngarca pada, sireping goro-goro tetela hamiwiti gebyaring gapura Jaman Kalasuba .... !

 

--------------------------------------------------

Bismillahirrahmaanirrahiim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh !

 

Sih rahmat tentrem rahayu nugrahaning Gusti Ingkang Maha Agung, Allah SWT tansah tumedak waradin sagung dumadi, kajiwa lan kasarira ing sedayanipun, donga pamuji mugi tansaha pinaringan karaharjan saha kabagaswarasan.  Mboten kesupen mangga kula derekaken ngluhuraken Asmanipun Gusti Ingkang Maha Agung, ngunjukaken raos syukur dumateng sahandap pepadaning Gusti Ingkag Akarya Jagad, Allah SWT.

Ijinkan kami membacakan hasil kajian Dari Beberapa Dalang Kasepuhan Di Omah Dalang Yang Akan Kami Sajikan Dalam 3 Seri Video Perjalanan Mencari Satria Piningit :

BAB I

Golek Slamet Ngudi Mulya, Mbabar Sejatining Lelakon, Mungkasi Jaman Kalabendu Lan Jaman  Kalatidha, Hamiwiti Jaman Kalasuba

 

Barangkali saat ini kita telah mengalami situasi dan kondisi masyarakat yang disebut dengan “jaman edan”.  Situasi yang dirasakan oleh kebanyakan orang sebagai situasi yang tidak menentu, penuh kecemasan dan ketidak pastian.

 

Di jaman edan ini, orang yang pandai belum tentu sukses atau memiliki kedudukan tinggi, dan orang bodoh belum tentu sengsara (yang penting adalah berani nekad). Yang sukses adalah orang yang cerdik dan licik, sedangkan orang jujur meski pekerja keras hidupnya akan tetep sengsara. “Jujur ajur, Ala mulya” begitulah pepatah jawa dalam menggambarkan jaman edan ini, yang maknanya orang jujur malah bisa jadi hancur karena ditinggalkan orang-orang sekitarnya (yang tidak beres moralnya) dan sebaliknya, orang “Ala” (tidak baik moralnya) malah kehidupannya bisa jadi baik, karena berani berbuat dengan menghalalkan segala cara, berbohong, mencuri, merampok, menipu dan lain sebagainya.

 

Di jaman edan ini, orang kaya akan semakin kaya, sementara orang miskin akan semakin sulit untuk memperoleh kehidupan. Ingin mendapat pekerjaan apalagi jabatan harus menyuap. Maka hanya orang-orang kayalah yang akhirnya mudah mendapatkan pekerjaan dan jabatan. Sementara orang-orang miskin semakin terpinggirkan. Itulah konsekuensi  logis dari sistem liberalis dan kapitalis. Orang kaya mengeksploitasi orang miskin.

 

Di jaman edan, korupsi ada dimana-mana.  Korupsi justru dilakukan oleh orang yang sudah kaya. Mereka terus menerus menguras uang negara. hartanya sudah bertumpuk namun masih saja merasa kurang dan kurang. Tanpa mempedulikan penderitaan orang miskin. Keserakahan telah menutupi hati nuraninya.  Empati dan kepedulian sudah luntur dari qalbunya.

 

Di jaman edan ini, moral tidak dipentingkan lagi. Tidak ada persahabatan dan tidak ada kawan abadi, yang ada adalah kepentingan.  Kawan bisa menjadi  lawan, dan yang tadinya lawan bisa menjadi kawan asalkan menguntungkan. Syahwat dibiarkan tanpa kendali.

 

Seperti inilah gambaran Jaman edan, yang sudah dan sedang terjadi saat ini,  Keadaan itu sudah ditulis oleh Rangga Warsita ratusan tahun yang lalu dalam sebuah syair yang dikenal dengan Serat Kalatidha. Oleh karena itu jaman edan ini  disebat juga Jaman Kalatidha.

 

 

Seperti  apa Serat Kalatidha itu ?

 

 

Serat Kalatidha adalah sebuah karya sastra Jawa karangan Rangga Warsita, yang ditulis sekitar tahun 1860 Masehi. Rangga Warsita adalah pujangga terakhir dari Kerajaan Kasunanan Surakarta.  Melihat mulai banyaknya ketidakadilan, krisis yang terjadi  di segala lini dan ia menyebutnya sebagai  jaman gila / edan. Kalatidha merupakan sebuah syair yang sangat termashur.  Ketenaran Serat Kalatidha juga mencapai kota Leiden di Negeri Belanda. Di sana petikan dari Serat Kalatidha dilukis di tembok sebuah museum.

 

Serat Kalatidha bukanlah ramalan seperti Jangka Jayabaya. Serat Kalatidha itu sebuah syair yang terdiri dari 12 bait, berisi falsafah atau ajaran hidup Ranggawarsita. “Kala” berarti "jaman" dan “tidha” adalah "ragu" Kalatidha berarti jaman penuh keraguan. Walau demikian banyak yang memberi pengertian “Kalatidha adalah jaman edan” mengambil makna dari bait ke tujuh serat ini, bait yang sangat popular, yang bunyinya :

 

"Amenangi zaman édan, Mélu ngédan nora tahan, Yén tan mélu anglakoni boya kéduman, Begja-begjaning kang édan, Luwih begja kang éling klawan waspada", artinya "Berada pada zaman édan, Kalau ikut édan tidak akan tahan, Tapi kalau tidak ngikuti édan tidak kebagian, Sebahagia-bahagianya orang yang édan,  Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada."

 

Bait ke-tujuh serat ini menggambarkan situasi “edan” dan ajakan untuk mawas diri. Adapun Makna dari bait ke tujuh ini adalah: Mengalami hidup pada jaman edan, memang serba repot, Mau ikut ngedan hati tidak sampai, Jika tidak mengikuti tidak kebagian apa-apa, yang akhirnya malah kelaparan, namun sudah menjadi kehendak Allah, Bagaimanapun beruntungnya orang yang “edan”, Masih lebih beruntung orang yang “ingat” dan “waspada”

 

                                     

Sampai kapan kondisi ini akan terus berlangsung ?

 

 

Manungsa hamung bisa anut lakuning jongko, nanging manungsa diwajibake kudu tansah hambudi daya, maksudnya  kita manusia hanya bisa ikut takdir dan rencananya Gusti Allah Gusti Ingkang Akarya Jagad, tetapi kita sebagai manusia diwajibkan berusaha, orang yang terus berusaha namanya melaksanakan laku, atau menjadi lakon pelaku sejarah.  Setelah jaman yang seperti ini nanti berakhir kita akan menemui yang namanya Jaman Kalasuba, Nusantara akan memasuki ”era baru” yaitu : Jaman Kalasuba ( kesenangan / kejayaan) menuju tatanan Swargamaniloka. Namun Jaman ini tidak bisa ditunggu begitu saja, memang waktunya sudah ditentukan, tetapi manusia wajib mbudidaya atau berusaha,  seperti halnya mau panen mangga saatnya musim panen nanti tiba pasti mangga akan berbuah, tetapi manusia wajib berusaha memupuk menyiram menyemprot jika ada hama, dll. 

 

Proses pergantian zaman selalu ditandai dengan tokoh pembaharu atau tokoh penyelamat yang sering kita dengar dengan istilah “Satria Piningit”.  Jika manusia tidak tanggap dengan sasmitane jaman, buta mata bathinnya berselimut dengan dosa penuh ambisi keduniawian dan hanya menunggu datangnya Satria Piningit / Imam Mahdi / Imam Mahad / Sosok pemimpin yang dinanti, maka sampai akhir zamanpun Satria Piningit yang dinanti tidak akan pernah mau muncul dikehidupan kalatidha, Satria Piningit itu akan muncul dengan sebuah persyaratan dan perjanjian !

 

 

Lalu Apa itu Satria Piningit dan apa persyaratan kemunculannya hingga Jaman ini berubah menjadi Jaman Kalasuba ?

 

Kita semua mengerti bahwa Misteri Satrio Piningit tak pernah pupus dari benak dan renung hati anak cucu leluhur Nusantara. Fenomena sejak masa kewalian pasca kebobrokan dan kehancuran Kerajaan Majapahit ini sangat lekat terutama bagi anak cucu Jawa – Bali Dwipa. Perjalanan sejarah Nusantara telah menjadi saksi hidup tentang kemunculan Satrio Piningit di setiap perubahan masa yang telah diwasiatkan oleh para leluhur Nusantara ratusan tahun yang lalu.

 

Raden Patah (Jimbun) adalah sosok Satrio Piningit dukungan para wali utamanya Sunan Bonang yang menandai berdirinya Kerajaan Demak setelah mampu menghapuskan supremasi Kerajaan Majapahit.

 

Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir) murid Sunan Giri merupakan Satrio Piningit pada masa berdirinya Kerajaan Pajang yang mengakhiri era Kerajaan Demak.

 

Panembahan Senopati (Sutowijoyo) murid Sunan Kalijaga juga merupakan Satrio Piningit pada masa berdirinya Kerajaan Mataram menggantikan eksistensi Pajang.

 

Dari beberapa peristiwa bersejarah tersebut mengandung makna yang tersirat bahwa kemunculan Satrio Piningit selalu berada pada pergantian ”masa besar” Nusantara dimana senantiasa tidak meninggalkan peran seorang wali (aulia).

 

Seperti yang pernah menduduki pemimpin negeri ini seorang Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan Jokowi dapat pula dikatakan sosok Satrio Piningit pada masanya setelah Nusantara ini beralih menjadi NKRI.

 

Tetapi itu masih belum memenuhi standart dari jiwa pemimpin yang di harapkan. Fenomena yang sangat menarik saat ini adalah : Akankah Satrio Piningit yang dikenal dengan nama Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu muncul pada masa ini ? Mengingat dari situasi dan tanda-tanda alam yang terjadi mengindikasikan Nusantara akan memasuki ”era baru” yaitu : Jaman Kalasuba ( jaman kesenangan / kejayaan ) menuju tatanan Swargamaniloka.

 

 

Bagaimana penjelasan lebih rinci tentang Satria Piningit, Satria Pinilih, Satria Pinanditha, Imam Mahdi, Imam Mahad, Ratu Adil Dan Banyak Sebutan Lainnya ?

 

 

Untuk menjelaskan hal ini. sesungguhnya hal ini adalah sebuah wewadi dan biarkan alam dan zaman yang akan menjawab dan menseleksinya !  Akan tetapi kita boleh membaca mencermati dan menganalisa perjalanan kehidupan kita saat ini, kita bisa menarik sebuah pandangan atau mungkin juga bisa lebih mendekati kepada kesimpulan, tetapi kebenaran yang sejati hanya milik Gusti Kang Akarya Jagad Dan kita tidak boleh mendahuliui kehendak yang Maha Kuasa. 

 

Marilah kita belajar untuk lebih peka dan akrab dengan Guru Bathin kita dan peka membaca obah musiking kahanan, dengan segala kerendahan hati bisa kami katakan, kita tidak akan sulit dan tidak akan samar memahami hakekat ini semua, dan untuk lebih memahami dan memantapkan keyakinan kita ada baiknya juga kita mengambil beberapa referensi dari tulisan dan karya orang-orang terdahulu para leluhur kita yang peduli dan selalu membaca zaman dan mewariskan pandangan dan wasiat kepada anak cucunya berupa diantaranya beberapa warisan leluhur nusantara yang sebagian wasiatnya telah dibuktikan kebenarannya oleh zaman dan sebagian lagi masih menjadi tanda tanya, diantaranya yaitu : Syair Joyoboyo, Serat Musarar Joyoboyo, Ramalan Sabdo Palon Noyo Genggong, Serat Kalatidha R.Ng. Ronggowarsito, Serat Darmo Gandhul, dan Wangsit Siliwangi.

 

Wangsit Siliwangi, berikut terjemahnya :

”Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”

Artinya :
“Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.”


Namun dalam naskah Wangsit Siliwangi ini dikatakan bahwa pada akhirnya yang mampu membuka misteri Pajajaran adalah sosok yang dikatakan sebagai ”Budak Angon” (Anak Gembala). Sebagai perlambang sosok yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi sebagai orang yang baik perangainya.

 

”Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi.”

Artinya :
”Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian.”

 

Selanjutnya dikatakan juga apa yang dilakukan oleh sosok ”Budak Angon” ini sbb:

 

”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.”

Artinya :
”Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala; Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”

 

Dari bait di atas digambarkan bahwa sosok ”Budak Angon” adalah sosok yang misterius dan tersembunyi. Apa yang dilakukannya bukanlah seperti seorang penggembala pada umumnya, akan tetapi terus berjalan mencari hakekat jawaban dan mengumpulkan apa yang menurut orang lain dianggap sudah tidak berguna atau bermanfaat. Dalam hal ini dilambangkan dengan ranting daun kering dan tunggak pohon. Sehingga secara hakekat yang dimaksudkan semua itu sebenarnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kejadian (asal-usul/sebab-musabab) termasuk karya-karya warisan leluhur seperti halnya yang kita baca ini. Dimana hal-hal semacam itu karena kemajuan jaman oleh generasi digital sekarang ini dianggap sudah usang/kuno tidak berguna dan bermanfaat. Pada akhirnya yang tersirat dalam hakekat perjalanan panjang sejarah negeri ini adalah berputarnya roda Cokro Manggilingan (pengulangan perjalanan sejarah).


Gambaran situasi jaman dalam naskah Wangsit Siliwangi diawali dengan lambang datangnya ”Kerbau Bule” dan juga ”Monyet-monyet” yang kemudian ganti menyerbu selepas Kerbau Bule pergi. Ilustrasi ini melambangkan saat datangnya para penjajah yang berdatangan ke negeri ini, baik itu Portugis maupun Belanda. Dengan politik adu domba mereka maka terjadi peperangan antar saudara. Sejarah banyak yang hilang dan diputarbalikkan.

 

Seperti yang tertulis berikut ini terjemahnya :

 

”Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal!


Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.”

 

Artinya: :
”Dengarkan!  Yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu: tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak pilihan.Semenjak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah! Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.”

 

Kemudian dalam naskah Wangsit Siliwangi bahwa situasi carut marut yang terjadi ada yang menghentikan yaitu orang seberang.

 

”Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.”

Artinya :

”Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur.  Riuh seluruh bumi! sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana sini. Lalu keturunan kita mengamuk: mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman; yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa; mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. Seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi, ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang.”

 

Lalu selanjutnya terdapat suatu masa yang digambarkan dengan munculnya seorang pemimpin negeri ini dengan gambaran sbb :

 

”Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala!”

Artinya :
”Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan raja dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan raja; penguasa baru susah dianiaya!”

 

Siapakah sosok yang dimaksud dalam bait ini? Dia adalah Soekarno, Presiden RI pertama. Ibunda Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai seorang putri bangsawan Bali. Ayahnya seorang guru bernama Raden Soekeni Sosrodihardjo. Namun dari penelusuran secara spiritual, ayahanda Soekarno sejatinya adalah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X. Nama kecil Soekarno adalah Raden Mas Malikul Koesno. Beliau termasuk ”anak ciritan” dalam lingkaran kraton Solo. (Silakan dibuktikan..) Pada masa kepemimpinan Soekarno banyak terjadi upaya pembunuhan terhadap diri beliau, namun selalu saja terlindungi dan terselamatkan.


Selanjutnya setelah berganti masa digambarkan bahwa semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Kondisi ini melambangkan pemimpin yang tidak mau mengerti penderitaan rakyat. Memerintah tidak dengan hati tapi segala sesuatunya hanya mengandalkan akal pikiran/logika dan kepentingan pribadi ataupun kelompok sebagai berhalanya. Sehingga yang terjadi digambarkan banyak muncul peristiwa di luar penalaran. Menjadikan orang-orang pintar hanya bisa omong alias pinter keblinger, seperti yang dikatakan sbb :

 

”Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.”
Artinya: :
”Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omongan, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Sudah pasti: bunga teratai hampa sebagian, bunga kapas kosong buahnya, buah pare banyak yang tidak masuk kukusan. Sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar keblinger.”

 

Lalu pada alinea menjelang akhir dikatakan :

”Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.”

Artinya :
”Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu’jizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti, saat munculnya Anak Gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.”

 

Situasi tersebut di atas adalah gambaran apa yang terjadi sekarang ini. Kalau kita perhatikan dengan cermat alinea ini, maka memang saat ini seluruh rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu’jizat di tengah-tengah carut marut yang sedang berlangsung di negeri ini. Lebih-lebih utamanya rakyat korban lumpur Lapindo yang kian hari makin kian sengsara. Bencana datang bertubi-tubi. Huru-hara terjadi di mana-mana. Dan akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kasus perebutan tanah. Pemuda Gendut merupakan lambang orang yang rakus dan serakah serta memiliki kepentingan pribadi.

 

Dalam bait ini dikatakan bahwa penguasa tersebut akan tumbang pada saat munculnya “Budak Angon”. Dimana kemunculannya ditandai dengan banyak terjadi huru-hara yang bermula di daerah lalu meluas ke seluruh negeri.

Dalam mengkaji Wangsit Siliwangi ini kita telah menemui lelakon atau pemeran utama yang dikatakan dengan istilah ”Budak Angon” (Anak Gembala) dan ”Budak Janggotan” (Pemuda Berjanggut).

Coba mari kita simak alinea berikut :

 

”Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!”

Artinya :
”Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!”

 

Perselisihan yang terjadi adalah sia-sia belaka. Karena selalu saja pihak penguasa membantu yang kuat, berdiri angkuh di atas yang lemah. Ada saat dimana ”wong cilik” sebagai lambang ”si lemah yang tertindas” mencari penuh harap sosok ”Budak Angon dan Budak Janggotan.” Namun yang dicari sulit ditemukan karena telah pergi ke Lebak Cawéné. Dimanakah Lebak Cawéné ? Lebak Cawéné adalah suatu lembah seperti cawan, yang dikatakan di dalam Serat Musarar Joyoboyo sebagai Gunung Perahu. Tempat itu digambarkan sebagai suatu lembah atau bukit dimana permukaannya cekung seperti tertumbuk perahu besar. secara gambaran spiritual, di tempat itu terdapat 2 sumber air besar dan ditandai dengan 3 pohon beringin (Ringin Telu).

 

Lebih lanjut dikatakan :

”Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!”

Artinya :
”Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, carilah Anak Gembala. Segeralah pergi. Tapi ingat, jangan menoleh ke belakang!”

 

Perlambang gagak berkoar di dahan mati bermakna situasi dimana banyak suara-suara tanpa arti. Rakyat menjerit-jerit, penguasa mengumbar janji-janji kosong. Sedangkan negara digambarkan banyak ditimpa bencana. Sekarang ini banyak gunung di nusantara sedang aktif bahkan beberapa gunung telah meletus. Ribut seluruh bumi merupakan lambang keresahan dunia internasional dewasa ini terhadap perubahan iklim dunia, pemanasan global dan krisis yang melanda. Hal ini ditandai dengan banyak bencana dan wabah mematikan yang terjadi di banyak negara.


Nampaknya kita sedang memasuki tahapan situasi ini. Mari kita renungkan dan perhatikan dengan apa yang sedang terjadi di seluruh negeri ini. Gunung-gunung telah mulai aktif, banyak terjadi bencana dengan unsur Air, Api, Angin dan Tanah dimana-mana, banyak pula terjadi huru-hara (demonstrasi/kerusuhan) sebagai lambang ketidakpuasan di berbagai tempat. Apakah ini terjadi secara kebetulan ? Tentu bagi yang memahami, ini semua adalah merupakan skenario langit.


Lalu, siapakah ”Budak Angon” itu ?   

Saksikan Di Seri Berikutnya, Seri II Yang Akan Membedah Isi Serat Musarar Joyoboyo. Ramalan Satria Piningit Ronggo Warsito !

 

BAB II

Semar iku, Datan Sedih Kebak Laku, Tansah Hangawula, Satria Ing Tanah Jawi, Yen Kersaa Si Semar Ratu Jawata

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh !

Sih rahmat tentrem rahayu nugrahaning Gusti Ingkang Maha Agung, Allah SWT tansah tumedak waradin sagung dumadi, kajiwa lan kasarira ing sedayanipun, donga pamuji mugi tansaha pinaringan karaharjan saha kabagaswarasan.  Mboten kesupen mangga kula derekaken ngluhuraken Asmanipun Gusti Ingkang Maha Agung, ngunjukaken raos syukur dumateng sahandap pepadaning Gusti Ingkag Akarya Jagad, Allah SWT.

Ijinkan kami melanjutkan kajian Dari Beberapa Dalang Kasepuhan Di Omah Dalang Yang Kali Ini Memasuki BAB II Dalam  Perjalanan Mencari Satria Piningit :

Pada BAB I kita telah menyimak Jaman Kalatidha Dan Membedah Wangsit Siliwangi, Sekarangnya saatnya kita membedah Serat Musarar Joyoboyo Dan Ramalan Satria Piningit Roggowarsito

 

Serat Musarar Joyoboyo

Di sini ini kami akan mengawali dengan menandai suatu masa atau periode dalam Sinom bait 18 yang berbunyi :

”Dene jejuluke nata, Lung gadung rara nglingkasi, Nuli salin gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuhing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tataning negari, Duk semana pametune wong ing ndesa.”

Artinya :
”Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki. Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.

 

Lung gadung rara nglikasi memiliki makna yaitu pemimpin yang penuh inisiatif (cerdas) namun memiliki kelemahan sering tergoda wanita. Perlambang ini menunjuk kepada presiden pertama RI, Soekarno. Sedangkan Gajah meta semune tengu lelaki bermakna pemimpin yang kuat karena disegani atau ditakuti namun akhirnya terhina atau nista. Perlambang ini menunjuk kepada presiden kedua RI, Soeharto. Dalam bait ini juga dikatakan bahwa negara selama ini menerima kutukan sehingga tidak ada kepastian hukum.

 

Dalam bait 20 dikatakan :

 

”Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati sowang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram.”

Artinya :
”Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka. Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram.”

 

Bait ini menggambarkan situasi negara yang kacau. Pemimpin jauh dari rakyat, dan dimulainya era baru dengan apa yang dinamakan otonomi daerah sebagai implikasi bergulirnya reformasi (Jaman Kutila). Karakter pemimpinnya saling jegal untuk saling menjatuhkan (Raja Kara Murka). Perlambang Panji loro semune Pajang – Mataram bermakna ada dua kekuatan pimpinan yang berseteru, yang satu dilambangkan dari trah Pajang (Joko Tingkir), dan yang lain dilambangkan dari trah Mataram (Pakubuwono). Hal ini menunjuk kepada era Gus Dur dan Megawati.

 

Lalu pada bait 21 tertulis :

 

Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami, Randha loro nututi pijer tetukar.”

Artinya :
”Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (orang pandai) tidak berdaya. Rakyat kecil sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar.”

 

Situasi negara dalam bait ini digambarkan bahwa kekuatan asing memiliki pengaruh yang sangat besar. Orang pandai berpendidikan tinggi dilambangkan tidak berdaya (pinter keblinger). Kondisi rakyat kecil makin sengsara saja. Perlambang Rara ngangsu, randha loro nututi pijer tetukar bermakna seorang pemimpin wanita yang selalu diintai oleh dua saudara wanitanya seolah ingin menggantikan. Perlambang ini menunjuk kepada Megawati, presiden RI kelima yang selalu dibayangi oleh Rahmawati dan Sukmawati.

 

Pada bait 22 dikatakan :

 

”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajengipun sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang Kala Bendu, Sasmitane lambang kang kocap punika.”

Artinya :
”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu.

Perlambang Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih bermakna pemimpin yang tidak sempat mengatur negara karena direpotkan dengan berbagai masalah. Ini menunjuk kepada presiden RI keenam saat ini yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan perlambang Semarang Tembayat merupakan tempat dimana tempat seseorang memahami dan mengetahui solusi dari apa yang terjadi.

 

Kemudian pada bait 27 berbunyi :

 

“Dene besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, semune Pudhak kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong nakoda milu manjing ing samuwan,”

Artinya :
“Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.”

Perlambang Tunjung putih semune Pudak kasungsang memiliki makna seorang pemimpin yang masih tersembunyi berhati suci dan bersih. Inilah seorang pemimpin yang dikenal banyak orang dengan nama “Satrio Piningit”. Lahir di bumi Mekah merupakan perlambang bahwa pemimpin tersebut adalah seorang Islam sejati yang memiliki tingkat ketauhidan yang sangat tinggi.

 

Sedangkan bait 28 tertulis :

 

“Prabu tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah ingkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan gunung Perahu, Sakulone tempuran, Balane samya jrih asih, Iya iku ratu rinenggeng sajagad.”

Artinya :
“Raja utusan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa. Letaknya dekat dengan Gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.”

 

Bait ini menggambarkan bahwa pemimpin tersebut adalah hasil didikan atau tempaan seorang Waliyullah (Aulia) yang juga selalu tersembunyi. Berkedaton di Mekah dan Tanah Jawa merupakan perlambang yang bermakna bahwa pemimpin tersebut selain ber-Islam sejati namun juga berpegang teguh pada kawruh Jawa (ajaran leluhur Jawa tentang laku utama). Sedangkan Gunung Perahu seperti telah disinggung di atas adalah Lebak Cawéné. Sedangkan tempuran adalah pertemuan dua sungai di muara yang biasanya digunakan untuk tempat bertirakat ”kungkum” bagi orang Jawa. Namun di sini tempuran bermakna ”watu gilang” sebagai tempat pertemuan alam fisik dan alam gaib. Dalam budaya spiritual Jawa keberadaan watu gilang sangat lekat dengan eksistensi seorang raja. Insya Allah.. Pemimpin tersebut akan mampu memimpin Nusantara ini dengan baik, adil dan membawa kepada kesejahteraan rakyat, serta menjadikan Nusantara sebagai ”barometer dunia” (istilah Bung Karno : ”Negara Mercusuar”).

 

Bait-bait Terakhir Ramalan Joyoboyo

 

Dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo digambarkan suasana negara yang kacau penuh carut marut serta terjadi kerusakan moral yang luar biasa. Namun dengan adanya fenomena tersebut kemudian digambarkan munculnya seseorang yang arif dan bijaksana yang mampu mengatasi keadaan. Berikut adalah cuplikan bait-bait tersebut yang menggambarkan ciri-ciri atau karakter seseorang itu :

 

selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu; bakal ana dewa ngejawantah; apengawak manungsa; apasurya padha bethara Kresna; awatak Baladewa; agegaman trisula wedha; jinejer wolak-waliking zaman; …

Artinya :
selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun (sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu); akan ada dewa tampil; berbadan manusia; berparas seperti Batara Kresna; berwatak seperti Baladewa; bersenjata trisula wedha; tanda datangnya perubahan zaman; …

 

…; iku tandane putra Bethara Indra wus katon; tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa

Artinya :
…; itulah tanda putra Batara Indra sudah nampak; datang di bumi untuk membantu orang Jawa

 

…; bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis; tan kasat mata, tan arupa; sing madhegani putrane Bethara Indra; agegaman trisula wedha; momongane padha dadi nayaka perang perange tanpa bala; sakti mandraguna tanpa aji-aji

Artinya :
…; pasukan makhluk halus sama-sama berbaris, berebut garis yang benar, tak kelihatan, tak berbentuk; yang memimpin adalah putra Batara Indra, bersenjatakan trisula wedha; para asuhannya menjadi perwira perang; jika berperang tanpa pasukan; sakti mandraguna tanpa azimat

 

apeparap pangeraning prang; tan pokro anggoning nyandhang; ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang; …

Artinya :
bergelar pangeran perang; kelihatan berpakaian kurang pantas; namun dapat mengatasi keruwetan banyak orang; …

 

idune idu geni; sabdane malati; sing mbregendhul mesti mati; ora tuwo, enom padha dene bayi; wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada; garis sabda ora gentalan dina; beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira; tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa; nanging inung pilih-pilih sapa

Artinya :
ludahnya ludah api, sabdanya sakti (terbukti), yang membantah pasti mati; orang tua, muda maupun bayi; orang yang tidak berdaya minta apa saja pasti terpenuhi; garis sabdanya tidak akan lama; beruntunglah bagi yang yakin dan percaya serta mentaati sabdanya; tidak mau dihormati orang se tanah Jawa; tetapi hanya memilih beberapa saja

 

waskita pindha dewa; bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira; pindha lahir bareng sadina; ora bisa diapusi marga bisa maca ati; wasis, wegig, waskita; ngerti sakdurunge winarah; bisa pirsa mbah-mbahira; angawuningani jantraning zaman Jawa; ngerti garise siji-sijining umat; Tan kewran sasuruping zaman

Artinya :
pandai meramal seperti dewa; dapat mengetahui lahirnya kakek, buyut dan canggah anda; seolah-olah lahir di waktu yang sama; tidak bisa ditipu karena dapat membaca isi hati; bijak, cermat dan sakti; mengerti sebelum sesuatu terjadi; mengetahui leluhur anda; memahami putaran roda zaman Jawa; mengerti garis hidup setiap umat; tidak khawatir tertelan zaman

 

ing ngarsa Begawan; dudu pandhita sinebut pandhita; dudu dewa sinebut dewa; kaya dene manungsa; …

Artinya :
di hadapan Begawan; bukan pendeta disebut pendeta; bukan dewa disebut dewa; namun manusia biasa; …

 

iki dalan kanggo sing eling lan waspada; ing zaman kalabendu Jawa; aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa; cures ludhes saka braja jelma kumara; aja-aja kleru pandhita samusana; larinen pandhita asenjata trisula wedha; iku hiya pinaringaning dewa

Artinya :
Inilah jalan bagi yang ingat dan waspada; pada zaman kalabendu Jawa; jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa; yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga; jangan keliru mencari dewa; carilah dewa bersenjata trisula wedha; itulah pemberian dewa

 

nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti

Artinya :
Menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi

 

Sampai di sini kita akan dapat mulai memahami siapakah yang dikatakan oleh Prabu Joyoboyo dengan istilah “Putra Betara Indra” itu ? Bait-bait tersebut telah mengurai secara rinci tentang ciri-ciri dan karakter orang tersebut. Putra Betara Indra tidak lain dan tidak bukan adalah Waliyullah (aulia) yang. Perlambang paras Kresna dan watak Baladewa bermakna satria pinandhita. Karena hakekat dua bersaudara Kresna dan Baladewa (Krishna Balarama) melambangkan kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Dimana Kresna melambangkan kawicaksanan ( kebijaksanaa ), sedangkan Baladewa melambangkan kasantosan keberanian dan kewibawaan. Dua bersaudara Kresna dan Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai penggembala sapi. Dengan hakekat ini setidaknya kita dapat meraba bahwa Putra Betara Indra adalah juga “Budak Angon” (Anak Gembala) yang telah dikatakan oleh Prabu Siliwangi di dalam Wangsit Siliwangi. 

 

Sedang Makna Senjata Trisula Weda adalah  Tiga Ajaran Luhur, Ajaran Tauhid ( Tiga Yang Tidak Dapat dipisahkan Dalam Menuntun Dan Menata Tatanan Hidup Yang Luhur), namun selama beratus tahun di putus oleh Abdul Ghofar Ulama Ciptaan Si Kebo Bule yang hingga hari ini tidak dipahami oleh para ulama dan umat dengan menghilangkan tauhid Mulkiyah dalam menata kehidupan manusia.  Budak Angon akan mengembalikan tatanan dunia baru sebagaimana Muhammad SAW menata Madyan Menjadi Madinah Al Munawarah, Sebagaimana Raden Patah & Para Wali  Dengan Menyatukan Tauhid Rububiyah, Tauhid Mulkiyah, Dan Tauhid Ubudiyah / Uluhiyah Menjadi Senjata Trisula Weda Untuk Mengatur Alam Dan Manusia.

 

Sak Lajengipun Ramalan Satrio Piningit Ronggowarsito

Di dalam ramalan Ronggowarsito dipaparkan ada tujuh Satrio Piningit yang akan muncul sebagai tokoh yang di kemudian hari akan memerintah atau memimpin wilayah seluas wilayah “bekas” kerajaan Majapahit, yaitu : Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro, Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar, Satrio Jinumput Sumelo Atur, Satrio Lelono Topo Ngrame, Satrio Hamong Tuwuh, Satrio Boyong Pambukaning Gapuro, Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu. Berkenaan dengan itu, banyak kalangan yang kemudian mencoba menafsirkan ke-tujuh Satrio Piningit itu adalah sebagai berikut :

 

1.     SATRIO KINUNJORO MURWO KUNCORO.
Tokoh pemimpin yang akrab dengan penjara (Kinunjoro), yang akan membebaskan bangsa ini dari belenggu keterpenjaraan dan akan kemudian menjadi tokoh pemimpin yang sangat tersohor diseluruh jagad (Murwo Kuncoro). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soekarno, Proklamator dan Presiden Pertama Republik Indonesia yang juga Pemimpin Besar Revolusi dan pemimpin Rezim Orde Lama. Berkuasa tahun 1945-1967.

 

2.     SATRIO MUKTI WIBOWO KESANDUNG KESAMPAR.
Tokoh pemimpin yang berharta dunia (Mukti) juga berwibawa/ditakuti (Wibowo), namun akan mengalami suatu keadaan selalu dipersalahkan, serba buruk dan juga selalu dikaitkan dengan segala keburukan / kesalahan (Kesandung Kesampar). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia dan pemimpin Rezim Orde Baru yang ditakuti. Berkuasa tahun 1967-1998.

 

3.     SATRIO JINUMPUT SUMELA ATUR.
Tokoh pemimpin yang diangkat/terpungut (Jinumput) akan tetapi hanya dalam masa jeda atau transisi atau sekedar menyelingi saja (Sumela Atur). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai BJ Habibie, Presiden Ketiga Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1998-1999.

 

4.     SATRIO LELONO TAPA NGRAME.
Tokoh pemimpin yang suka mengembara / keliling dunia (Lelono) akan tetapi dia juga seseorang yang mempunyai tingkat kejiwaan Religius yang cukup / Rohaniawan (Tapa Ngrame). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai KH. Abdurrahman Wahid, Presiden Keempat Republik Indonesia. Berkuasa tahun 1999-2000.

 

5.     SATRIO PININGIT HAMONG TUWUH.
Tokoh pemimpin yang muncul membawa kharisma keturunan dari moyangnya (Hamong Tuwuh). Tokoh yang dimaksud ini ditafsirkan sebagai Megawati Soekarnoputri, Presiden Kelima Republik Indonesia. Berkuasa tahun 2000-2004.

 

6.     SATRIO BOYONG PAMBUKANING GAPURO.
Tokoh pemimpin yang berpindah tempat dan sistem (Boyong) dan akan menjadi peletak dasar sebagai pembuka gerbang menuju tercapainya zaman keemasan (Pambukaning Gapuro). Tokoh yang dimaksud ini adalah para pemimpin dimasa peralihan sperti Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan lainnya hingga sampai saatnya mereka yang memimpin dipaksa oleh zaman dan kuasa Ilahi. menyerahkan kesadarannya kepada konsep ilahiyah menemukan pemimpin yang adil sosok kesatria yang pinandhita sinisihan wahyu. Sosok satria boyong pambukaning gapuro, Ia akan selamat memimpin bangsa ini dengan baik manakala mau dan tidak angkuh atau tidak menyombongkan diri serta mampu mensinergikan dengan kekuatan Sang Satria Piningit atau setidaknya dengan seorang spiritualis sejati satria piningit yang hanya memikirkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga gerbang mercusuar dunia akan mulai terkuak dan terbuka melalui Jalan Menuju Masyarakat Sejahtera. Mengandalkan para birokrat dan teknokrat saja tak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Ancaman bencana alam, disintegrasi bangsa dan anarkhisme seiring prahara yang terus terjadi akan memandulkan kebijakan yang diambil.  Pada masa ini masa peralihan ( boyong ) banyak berganti kepemimpinan, banyak bergonta-ganti sistem bergonta-ganti undang-undang, bergonta-ganti pejabat, banyak huru-hara, musibah bahkan pertumpahan darah dan banyaknya wabah penyakit yang mengerikan dan menakutkan rakyat seluruh dunia.

 

7.     SATRIO PINANDITO SINISIHAN WAHYU.
Tokoh pemimpin yang amat sangat Religius sampai-sampai digambarkan bagaikan seorang Resi Begawan (Pinandito) dan akan senantiasa bertindak atas dasar hukum petunjuk Allah SWT (Sinisihan Wahyu Ajaran Ilahi Untuk Semua).   Selalu menjunjung tinggi Toleransi Dan Perdamaian   dengan selalu bersandar hanya kepada Allah SWT, Insya Allah, bangsa ini akan mencapai zaman keemasan yang sejati.

 

Selain masing-masing satrio itu menjadi ciri-ciri dari masing-masing pemimpin NKRI pada setiap masanya, ternyata tujuh karakter satrio piningit itu melambangkan tujuh sifat yang menyatu di dalam diri seorang pandhita yang telah kita tahu adalah Putra Betara Indra yang juga Budak Angon seperti telah diungkap di atas. Berikut ini adalah sifat-sifat “Satrio Piningit” sejati apa yang telah ditulis oleh R.Ng. Ronggowarsito :

 

* Satrio Kinunjoro Murwo Kuncoro

Melambangkan orang yang sepanjang hidupnya terpenjara namun namanya harum mewangi. Sifat ini hanya dimiliki oleh orang yang telah menguasai Artadaya (ma’rifat sebenar-benar ma’rifat). Diberikan anugerah kewaskitaan atau kesaktian oleh Allah SWT, namun tidak pernah menampakkan kesaktiannya itu. Jadi sifat ini melambangkan orang berilmu yang amat sangat tawadhu.

 

* Satrio Mukti Wibowo Kesandung Kesampar

Melambangkan orang yang kaya akan ilmu dan berwibawa, namun hidupnya kesandung kesampar, artinya penderitaan dan pengorbanan telah menjadi teman hidupnya yang setia. Tidak terkecuali fitnah dan caci maki selalu menyertainya. Semua itu dihadapinya dengan penuh kesabaran, ikhlas dan tawakal.

 

* Satrio Jinumput Sumelo Atur

Melambangkan orang yang terpilih oleh Allah SWT guna melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjalankan missi-Nya. Hal ini dibuktikan dengan pemberian anugerah-Nya berupa ilmu laduni kepada orang tersebut.


*Satrio Lelono Topo Ngrame

Melambangkan orang yang sepanjang hidupnya melakukan perjalanan spiritual dengan melakukan tasawuf hidup (tapaning ngaurip). Bersikap zuhud dan selalu membantu (tetulung) kepada orang-orang yang dirundung kesulitan dan kesusahan dalam hidupnya.

 

* Satrio Hamong Tuwuh

Melambangkan orang yang memiliki dan membawa kharisma leluhur suci serta memiliki tuah karena itu selalu mendapatkan pengayoman dan petunjuk dari Allah SWT. Dalam budaya Jawa orang tersebut biasanya ditandai dengan wasilah memegang pusaka tertentu sebagai perlambangnya.


*Satrio Boyong Pambukaning Gapuro

Melambangkan orang yang melakukan hijrah dari suatu tempat ke tempat lain yang diberkahi Allah SWT atas petunjuk-Nya. Hakekat hijrah ini adalah sebagai perlambang diri menuju pada kesempurnaan hidup (kasampurnaning ngaurip). Dalam kaitan ini maka tempat yang ditunjuk itu adalah Lebak Cawéné = Gunung Perahu = Semarang Tembayat.  Tanpa mengurangi rasa hormat kami, dalam hal ini kami ingin meluruskan pandangan teman-teman yang memaknai keberadaan Satria Piningit di Lebak Cawéné = Gunung Perahu = Semarang Tembayat diartikan secara fisik lahiriyah, kami ingin mengingatkan bahwa di dalam setiap petunjuk syair dalam  serat adanya ini memiliki makna kias / kauniyah yang harus dimaknai dengan kedewasaan berfikir dan pemahaman yang mendalam.  Kami memaknai Di Gunung Perahu, Gunung bermakna adanya perpindahan ( boyong / hijrah ) sistem dari sistem Kalatidha ( Kalabendhu ) ke sistem Kalaseba struktur baru yang dipersiapkan lengkap dengan perangkat baru yang bersih jujur dan beramanah yang dipimpin oleh Sang Ratu Adil yang digambarkan dengan sebuah Gunung Perahu, Sebuah Perangkat Struktur yang akan menjadi nahkoda yang akan mengendalikan perahu ( bahtera kehidupan bernegara ) dalam menempuh perjalanan menuju Semarang Tembayat yakni sebuah kota baru yang dibangun dan menjadi kota santri ( sebagai mana kota semarang pada zaman itu ) yang didalamnya terdapat Masjid Tiban ( sebagaimana Tembayat / Bayat saat Sunan Pandanaran memasuki Desa Tembayat saat itu ).  Masjid Tiban ini akan membawa perubahan besar dalam tatanan Jaman Kalaseba menjadi wadah pemersatu umat seluruh dunia dan menjadi Sentral Terwujudnya Rahmatan Lil Alamiin. Rahmat Seluruh Alam Semesta.  Dari sinilah Ratu Adil / Satria Piningit / Satria Pinandhita Sisisihan Wahyu / Budak Angon / Semar  Ngejawantah / Imam Mahdi / Imam Mahad akan memimpin dunia dan menjadi Ratu Adil.  Ciri kemunculannya jika sudah ada Satria Boyong Pambukaning Gapura sudah mau merapat ke Istana Ratu Adil / Imam Mahdi / Imam Mahad /  Satria Piningit.

 

* Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu

Melambangkan orang yang memiliki enam sifat di atas. Sehingga orang tersebut digambarkan sebagai seorang pinandhita atau alim yang selalu mendapatkan petunjuk dari Allah SWT. Maka hakekat Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu adalah utusan Allah SWT atau bisa dikatakan seorang Aulia (waliyullah).

 

Selanjutnya Serat Kalatidha Ronggowarsito

Guna memperlengkapi wacana kita tentang sifat dan karakter “Satrio Piningit” yang telah diurai di atas, ada baiknya kita cermati pula Serat Kalatidha karya Ronggowarsito yang tertuang dalam Serat Centhini jilid IV (karya Susuhunan Pakubuwono V) pada Pupuh 257 dan 258. Kutipan berikut ini menggambarkan situasi jaman yang terjadi dan akhirnya muncul sang Satrio Piningit yang dinanti :

 

Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata.

Artinya :
Para pemimpinnya berhati jahil, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati.

 

Keh wahyuning eblislanat kang tamurun, apangling kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon kang sirna wiwirangira.
Artinya :
Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita untuk membedakannya, para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.

 

Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta nyata, akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase nalangsa.

Artinya :
Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita yang sebenarnya dan banyak orang miskin beraneka macam yang sangat menyedihkan kehidupannya.

 

Krep paprangan, sujana kapontit nurut, durjana susila dadra andadi, akeh maling malandang marang ing marga.

Artinya :
Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat, kejahatan / perampokan dan pemerkosaan makin menjadi-jadi dan banyak pencuri malang melintang di jalan-jalan.

 

Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu gelap cleret warsa.

Artinya :
Alampun ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan gempa bumi.

 

Prahara gung, salah mangsa dresing surur, agung prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun tentreming wardaya.

Artinya :
Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi kerusuhan seperti perang yang tidak ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin ada rasa tenteram di hati.

 

Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar silastuti titi tata.

Artinya :
Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.

 

Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun Kalathida, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening karoban rubeda.

Artinya :
Para penjahat maupun para pemimpin tidak sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan masalah / kesulitan.

 

Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak-cakrak.

Artinya :
Para pemimpin mengatakan seolah-olah bahwa semua berjalan dengan baik padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.

 

Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sanagara.

Artinya :
Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu, makin lama makin menjadi kesulitan yang sangat, dan berbeda-beda tingkah laku / pendapat orang se-negara.

 

Katatangi tangising mardawa-lagu, kwilet tays duhkita, kataman ring reh wirangi, dening angupaya sandi samurana.

Artinya :
Disertai dengan tangis dan kedukaan yang mendalam, walaupun kemungkinan dicemooh, mencoba untuk melihat tanda-tanda yang tersembunyi dalam peristiwa ini.


Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing zaman musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang mangkono yen niteni lamampahan.

Artinya :
Memberikan peringatan pada zaman yang kalut dengan bijaksana, begitu agar kejadiannya / yang akan terjadi bisa jadi peringatan.

 

Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan.

Artinya :
Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu zaman edan, sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila / edan tidak tahan.

 

Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane.

Artinya :
Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan.

 

Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada.

Artinya :
Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk mengejar keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap ingat dan waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur).

 

Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu sirna, sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata, ing kono raharjanira, karaton ing tanah Jawa, mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka.

Artinya :
Atas izin Allah SWT, zaman Kalabendu hilang, berganti zaman dimana tanah Jawa / Indonesia menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan angkara murkapun mereda.

 

Marga sinapih rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji wijiling utama, ingaranan naranata, kang kapisan karanya, adenge tanpa sarana, nagdam makduming srinata, sonya rutikedatonnya.

Artinya :
Kedatangan pemimpin baru tidak terduga, seperti muncul secara gaib, yang mempunyai sifat-sifat utama.

 

Lire sepi tanpa srana, ora ana kara-kara, duk masih keneker Sukma, kasampar kasandhung rata, keh wong katambehan ika, karsaning Sukma kinarya, salin alamnya, jumeneng sri pandhita.

Artinya :
Datangnya tanpa sarana apa-apa, tidak pernah menonjol sebelumnya, pada saat masih muda, banyak mengalami halangan dalam hidupnya, yang oleh izin Allah SWT, akan menjadi pemimpin yang berbudi luhur.

 

Luwih adil paraarta, lumuh maring branaarta, nama Sultan Erucakra, tanpa sangakan rawuhira, tan ngadu bala manungsa, mung sirollah prajuritnya, tungguling dhikir kewala, mungsuh rerep sirep sirna.

Artinya :
Mempunyai sifat adil, tidak tertarik dengan harta benda, bernama Sultan Erucakra (pemimpin yang memiliki wahyu), tidak ketahuan asal kedatangannya, tidak mengandalkan bala bantuan manusia, hanya sirullah prajuritnya (pasukan Allah) dan senjatanya adalah semata-mata dzikir, musuh semua bisa dikalahkan.

 

Tumpes tapis tan na mangga, krana panjenengan nata, amrih kartaning nagara, harjaning jagat sadaya, dhahare jroning sawarsa, denwangeni katahhira, pitung reyal ika, tan karsa lamun luwiha.

Artinya :
Semua musuhnya dimusnahkan oleh sang pemimpin demi kesejahteraan negara, dan kemakmuran semuanya, hidupnya sederhana, tidak mau melebihi, penghasilan yang diterima.

 

Bumi sakjung pajegira, amung sadinar sawarsa, sawah sewu pametunya, suwang ing dalem sadina, wus resik nir apa-apa, marmaning wong cilik samya, ayem enake tysira, dene murah sandhang teda.

Artinya :
Pajak orang kecil sangat rendah nilainya, orang kecil hidup tentram, murah sandang dan pangan.

 

Tan na dursila durjana, padha martobat nalangas, wedi willating nata, adil asing paramarta, bumi pethik akukutha, parek lan kali Katangga, ing sajroning bubak wana, penjenenganin sang nata.

Artinya :
Tidak ada penjahat, semuanya sudah bertobat, takut dengan kewibawaan sang pemimpin yang sangat adil dan bijaksana.

 

Dari gambaran yang tertulis di dalam Serat Kalatidha di atas, maka kita akan mendapatkan gambaran yang sama dengan apa yang sedang terjadi saat ini. Percaya atau tidak, kenyataannya semua yang telah digambarkan para leluhur nusantara ini telah terjadi dan sedang berlangsung serta insya allah akan terjadi, baik lambat ataupun cepat. Karena apa yang telah dituangkan para leluhur kita dalam bentuk karya sastra adalah hasil “olah batin” ataupun “perjalanan spiritual” beliau-beliau di dalam menangkap lambang-lambang-Nya di alam nyata maupun gaib. Inilah yang diistilahkan dalam kawruh jawa sebagai Sastrajendra Hayuningrat.


(sastra tanpa wujud – papan tanpa tulis, tulis tanpa papan). Sehingga dalam mengungkapkannya penuh dengan perlambang (pasemon ataupun sanepan). Semuanya hanya ingin mengingatkan kita anak cucu leluhur nusantara ini untuk senantiasa Eling dan Waspada.

 

Lalu bagaimana kisah selanjutnya, saksikan di seri berikutnya, Seri III Yang Akan menelisik misteri Sabdo Palon, Serat Dharmo Gandul, Dan Jati Diri Satria Piningit serta bagaimana agar kita dapat selamat dari Jaman Kalabendu Dan Kalatidha Serta Dapat Menemukan Keberadaan Satria Piningit yang dicari dan ditunggu oleh segenap umat manusia !

 

 

BAB III

Lir-ilir lir-ilir tandure wus sumilir

Tak ijo royo royo

Tak sêngguh têmantèn anyar

Cah angon cah angon peneknå blimbing kuwi

Lunyu lunyu peneknå kanggo mbasuh dodot-irå (dodot sirå)

Dodot-irå (dodot sirå) dodot-irå (dodot sirå) kumitir bêdhah ing pinggir

Dondomånå jlumatånå kanggo sebå mêngko sore

Mumpung padhang rêmbulane

Mumpung jêmbar kalangane

Yå surakå surak-iyå

 

 

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh !

Sih rahmat tentrem rahayu nugrahaning Gusti Ingkang Maha Agung, Allah SWT tansah tumedak waradin sagung dumadi, kajiwa lan kasarira ing sedayanipun, donga pamuji mugi tansaha pinaringan karaharjan saha kabagaswarasan.  Mboten kesupen mangga kula derekaken ngluhuraken Asmanipun Gusti Ingkang Maha Agung, ngunjukaken raos syukur dumateng sahandap pepadaning Gusti Ingkag Akarya Jagad, Allah SWT.

Ijinkan kami melanjutkan kajian Dari Beberapa Dalang Kasepuhan Di Omah Dalang Yang Kali Ini Memasuki Seri III Dalam Video Perjalanan Mencari Satria Piningit :

Pada Seri II kita telah membedah Serat Musarar Joyoboyo Dan Ramalan Satria Piningit Roggowarsito, sekarangnya saatnya kita akan menelisik misteri Sabdo Palon, Serat Dharmo Gandul, Dan Jati Diri Satria Piningit serta bagaimana agar kita dapat selamat dari Jaman Kalabendu Dan Kalatidha Serta Dapat Menemukan Keberadaan Satria Piningit yang dicari dan ditunggu oleh segenap umat manusia.

 

Sebelumnya mari kita menelisik dan memahami Misteri Sabdo Palon:

Dalam upaya menelisik misteri siapa sejatinya Sabdo Palon, saya mengawali dengan mengkaji Serat Darmagandhul dan ramalan Sabdo Palon. Di sini tidak akan dipersoalkan siapa yang membuat karya-karya tersebut untuk tidak menimbulkan banyak perdebatan. Karena penjelasan secara akal penalaran amatlah rumit, namun dengan pendekatan spiritual dapatlah ditarik benang merahnya yang akan membawa kepada satu titik terang. Dan akhirnyapun dapat dirunut secara logika historis.

 

Menarik memang di dalam mencari jawab tentang siapakah Sabdo Palon ? Karena kata ”Sabdo Palon Noyo Genggong” sebagai penasehat spiritual Prabu Brawijaya V ( memerintah tahun 1453 – 1478 ) tidak hanya dapat ditemui di dalam Serat Darmagandhul saja, namun di dalam bait-bait terakhir ramalan Joyoboyo ( 1135 – 1157 ) juga telah disebut-sebut, yaitu bait 164 dan 173 yang menggambarkan tentang sosok Putra Betara Indra sbb :

 

…; Mumpuni sakabehing laku; nugel tanah Jawa kaping pindho; ngerahake jin setan; kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda; landhepe triniji suci; bener, jejeg, jujur; kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong.

Artinya :
…; Menguasai seluruh ajaran (ngelmu); memotong tanah Jawa kedua kali; mengerahkan jin dan setan; seluruh makhluk halus berada di bawah perintahnya bersatu padu membantu manusia Jawa berpedoman pada trisula weda; tajamnya tri tunggal nan suci; benar, lurus, jujur; didampingi Sabdopalon dan Noyogenggong.

 

Nglurug tanpa bala; yen menang tan ngasorake liyan; para kawula padha suka-suka; marga adiling pangeran wus teka; ratune nyembah kawula; angagem trisula wedha; para pandhita hiya padha muja; hiya iku momongane kaki Sabdopalon; sing wis adu wirang nanging kondhang; genaha kacetha kanthi njingglang; nora ana wong ngresula kurang; hiya iku tandane kalabendu wis minger; centi wektu jejering kalamukti; andayani indering jagad raya; padha asung bhekti.

Artinya :
Menyerang tanpa pasukan; bila menang tak menghina yang lain; rakyat bersuka ria; karena keadilan Yang Kuasa telah tiba; raja menyembah rakyat; bersenjatakan trisula wedha; para pendeta juga pada memuja; itulah asuhannya Sabdopalon; yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur; segalanya tampak terang benderang; tak ada yang mengeluh kekurangan; itulah tanda zaman kalabendu telah usai; berganti zaman penuh kemuliaan; memperkokoh tatanan jagad raya; semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi.

 

Selanjutnya Serat Darmagandhul :

 

Memahami Serat Darmagandhul dan karya-karya leluhur kita dibutuhkan kearifan dan toleransi yang tinggi, karena mengandung nilai kawruh Jawa yang sangat tinggi. Jika belum matang beragama maka akan muncul sentimen terhadap agama lain. Tentu ini tidak kita kehendaki. Tiada maksud lain dari kami kecuali hanya ingin mengungkap fakta dan membedah warisan leluhur dari pendekatan spiritual dan historis.


Dalam serat Darmagandhul ini kami hanya ingin menyoroti ucapan-ucapan berikut ini :

 

”Paduka sampun kêlajêng kêlorob, karsa dados jawan, irib-iriban, rêmên manut nunut-nunut, tanpa guna kula êmong, kula wirang dhatêng bumi langit, wirang momong tiyang cubluk, kula badhe pados momongan ingkang mripat satunggal, botên rêmên momong paduka. … Manawi paduka botên pitados, kang kasêbut ing pikêkah Jawi, nama Manik Maya, punika kula, ingkang yasa kawah wedang sanginggiling rêdi rêdi Mahmeru punika sadaya kula, …”

Artinya :
”Paduka sudah terlanjur terperosok, mau jadi orang jawan (kehilangan jawa-nya), kearab-araban, hanya ikut-ikutan, tidak ada gunanya saya asuh, saya malu kepada bumi dan langit, malu mengasuh orang tolol, saya mau mencari asuhan yang bermata satu (memiliki prinsip dan aqidah yang kuat), tidak senang mengasuh paduka. … Kalau paduka tidak percaya, yang disebut dalam ajaran Jawa, nama Manik Maya itu saya, yang membuat kawah air panas di atas gunung itu semua adalah saya, …”

 

Dalam ucapan ini pula Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah sebenarnya yang dikatakan dalam kawruh Jawa dengan apa yang dikenal sebagai ”Manik Maya” atau hakekat ”Semar”, Hakekatul Wujud Yang Maya Tidak Tampak Tetapi Nyata Keberadaanya Sebagai Utusan Dan Penasehat Ghoib Bagi Para Satria Di Tanah Jawa.  Yang membuat kawah air panas diatas gunung maknanya menggerakkan roda pemerintahan, memutar pemikiran diatas struktur gunung agar kehidupan berjalan dengan aman dan damai.

 

”Sabdapalon matur yen arêp misah, barêng didangu lungane mênyang ngêndi, ature ora lunga, nanging ora manggon ing kono, mung nêtêpi jênênge Sêmar, nglimputi salire wujud, anglela kalingan padhang. …..”

Artinya :
”Sabdo Palon menyatakan akan berpisah, begitu ditanya perginya kemana, jawabnya tidak pergi, akan tetapi tidak bertempat di situ, hanya menetapkan namanya Semar, yang meliputi segala wujud, membuatnya samar. …..”

 

Sekali lagi dalam ucapan ini Sabdo Palon menegaskan bahwa dirinyalah yang bernama Semar. Bagi orang Jawa yang berpegang pada kawruh Jawa pastilah memahami tentang apa dan bagaimana Semar. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Semar adalah merupakan utusan gaib Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan Yang Maha Kuasa) untuk melaksanakan tugas agar manusia selalu menyembah dan bertaqwa kepada Tuhan, selalu bersyukur dan eling serta berjalan pada jalan kebaikan. Sebelum manusia mengenal agama, keberadaan Semar telah ada di muka bumi. Beliau mendapat tugas khusus dari Gusti Kang Murbeng Dumadi untuk menjaga dan memelihara bumi Nusantara khususnya, dan jagad raya pada umumnya.

 

Perhatikan ungkapan Sabdo Palon berikut ini :

Di kalangan spiritualis Jawa pada umumnya, keberadaan Semar diyakini berupa ”suara tanpa rupa”. Namun secara khusus bagi yang memahami lebih dalam lagi, keberadaan Semar diyakini dengan istilah “mancolo putro, mancolo putri”, artinya dapat mewujud dan menyamar sebagai manusia biasa dalam wujud berlainan di setiap masa. Namun dalam perwujudannya sebagai manusia tetap mencirikan karakter Semar sebagai sosok  “Begawan atau Pandhita”. Hal ini dapat dipahami karena dalam kawruh Jawa dikenal adanya konsep “menitis” dan “Cokro Manggilingan”.

 

Dari apa yang telah disinggung di atas, kita telah sedikit memahami bahwa Sabdo Palon sebagai pembimbing spiritual (ponokawan) Prabu Brawijaya merupakan sosok Semar yang nyata. Menurut Sabdo Palon dalam ungkapannya dikatakan :

 

”…, paduka punapa kêkilapan dhatêng nama kula Sabdapalon? Sabda têgêsipun pamuwus, Palon: pikukuh kandhang. Naya têgêsipun ulat, Genggong: langgêng botên ewah. Dados wicantên-kula punika, kenging kangge pikêkah ulat pasêmoning tanah Jawi, langgêng salaminipun.”

Artinya :
”…, apakah paduka lupa terhadap nama saya Sabdo Palon?  Sabda artinya kata-kata, Palon adalah kayu pengancing kandang, Naya artinya pandangan, Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi ucapan hamba itu berlaku sebagai pedoman hidup di tanah Jawa, langgeng selamanya.”

 

Seperti halnya Semar telah banyak dikenal sebagai pamomong sejati yang selalu mengingatkan bilamana yang di”emong”nya salah jalan, salah berpikir atau salah dalam perbuatan, terlebih apabila melanggar ketentuan-ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Semar selalu memberikan piwulangnya untuk bagaimana berbudi pekerti luhur selagi hidup di dunia fana ini sebagai bekal untuk perjalanan panjang berikutnya nanti.

 

Jadi Semar merupakan pamomong yang ”tut wuri handayani”, menjadi tempat bertanya karena pengetahuan dan kemampuannya sangat luas, serta memiliki sifat yang bijaksana dan rendah hati juga waskitho (ngerti sakdurunge winarah). Semua yang disabdakan Semar tidak pernah berupa ”perintah untuk melakukan”tetapi lebih kepada” bagaimana sebaiknya melakukan”. Semua keputusan yang akan diambil diserahkan semuanya kepada ”majikan”nya.

 

Semar atau Kaki Semar sendiri memiliki 110 nama, diantaranya adalah Ki Sabdopalon, Sang Hyang Ismoyo, Ki Bodronoyo, Janggan Smarasanta, Ki Lurah Nayantaka, Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Saronsari, Ki lurah Badranaya, Puntaprasanta, Bojagati, Wong Boga Sampir, Sanghyang Suryakanta, Lang-lang Jagad, Sanghyang Purbojagad, Sang Mahayu Semesta, Dharmo Sampurno, Dang Hyang Nirartha, Mpu Dwijendra, Pedanda Sakti Wawu Rawuh, Tuan Semeru dan lain-lain.

 

Di dalam Serat Darmogandhul diceritakan episode perpisahan antara Sabdo Palon dengan Prabu Brawijaya karena perbedaan prinsip. Sebelum berpisah Sabdo Palon menyatakan kekecewaannya dengan sabda-sabda yang mengandung prediksi tentang sosok masa depan yang diharapkannya.

Berikut ungkapan :

 

”….. Sang Prabu diaturi ngyêktosi, ing besuk yen ana wong Jawa ajênêng tuwa, agêgaman kawruh, iya iku sing diêmong Sabdapalon, wong jawan arêp diwulang wêruha marang bênêr luput.”

Artinya :
”….. Sang Prabu diminta memahami, suatu saat nanti kalau ada orang Jawa menggunakan nama tua (sepuh), berpegang pada kawruh Jawa, yaitulah yang diasuh oleh Sabda Palon, orang  Jawan (yang telah kehilangan Jawa-nya) akan diajarkan agar bisa melihat benar salahnya.”


Dari ungkapan di atas Sabdo Palon mengingatkan Prabu Brawijaya bahwa suatu ketika nanti akan ada orang Jawa yang memahami kawruh Jawa (tiyang Jawi) yang akan memimpin bumi nusantara ini. Hal ini menyiratkan adanya dua sosok di dalam ungkapan Sabdo Palon tersebut yang merupakan sabda prediksi di masa mendatang, yaitu pemimpin yang diharapkan dan pembimbing spiritual (seorang pandhita).


Ramalan Sabdo Palon :

 

Sanget-sangeting sangsara, Kang tuwuh ing tanah Jawi, Sinengkalan tahunira, Lawon Sapta Ngesthi Aji, Upami nyabrang kali, Prapteng tengah-tengahipun, Kaline banjir bandhang, Jerone ngelebne jalmi, Kathah sirna manungsa prapteng pralaya.

Artinya :
Kelak waktunya paling sengsara di tanah Jawa ini pada tahun: Lawon Sapta Ngesthi Aji ( Lawon = Kain Pembungkus Mayam, Sapta = Tujuh, Ngesthi = Tirakat / Talak Brata / Sumarah / Pemusatan Indera, Aji = Satu, Maknanya Setiap Hari Dalam 7 Hari Manusia Mengalami Masa Mencekam, Banyak Musibah Kematian Dimana-mana, Manusia Hanya Bisa Sumarah Pasrah Kepada Gusti Ingkang Maha Tunggal ). Umpama seorang menyeberang sungai sudah datang di tengah-tengah. Tiba-tiba sungainya banjir besar, dalamnya menghanyutkan manusia sehingga banyak yang meninggal dunia.

 

Bebaya ingkang tumeka, Warata sa Tanah Jawi, Ginawe kang paring gesang, Tan kenging dipun singgahi, Wit ing donya puniki, Wonten ing sakwasanipun, Sedaya pra Jawata, Kinarya amertandhani, Jagad iki yekti ana kang akarya.

Artinya :
Bahaya yang mendatangi tersebar seluruh tanah Jawa. Itu sudah kehendak Tuhan tidak mungkin dipungkiri lagi. Sebab dunia ini ada ditanganNya. Hal tersebut sebagai bukti bahwa sebenarnya dunia ini ada yang membuatnya.

 

Dari bait-bait di atas dapatlah kita memahami bahwa Sabdo Palon menyatakan kembali ke asal mulanya. Perlu kita tahu bahwa Semar adalah wujud manusia biasa titisan Dewa Sang Hyang Ismoyo. Jadi ketika itu Sabdo Palon berencana untuk kembali ke asal mulanya adalah alam kahyangan (alam dewa-dewa), kembali sebagai wujud dewa, Sang Hyang Ismoyo. Diungkapkannya tanda utama itu adalah muntahnya lahar gunung Merapi ke arah barat daya. Baunya tidak sedap. Dan juga kemudian diikuti bencana-bencana lainnya.

 

JADI KESIMPULANNYA :

 

”Yang dikatakan “Putra Betara Indra” oleh Joyoboyo, “Budak Angon” oleh Prabu Siliwangi, dan “Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu” oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha/ Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh/ Tuan Semeru.

 

Pertanyaannya sekarang adalah: Ada dimanakah beliau saat ini kalau dari tanda-tanda yang telah nampak dikatakan bahwa Sabdo Palon telah datang ? Tentu saja sangat tidak etis untuk menjawab secara vulgar persoalan ini. Sangat sensitif.  Karena ini adalah wilayah para kasepuhan suci, waskito, ma’rifat dan mukasyafah saja yang dapat menjumpai dan membuktikan kebenarannya. Dimensi spiritual sangatlah pelik dan rumit. Sabdo Palon yang telah menitis kepada ”seseorang” itu yang jelas memiliki karakter 7 (tujuh) satrio seperti yang telah diungkapkan oleh R.Ng. Ronggowarsito, dan juga memiliki karakter Putra Betara Indra seperti yang diungkapkan oleh Joyoboyo.


Dapatlah dikatakan bahwa : Putra Betara Indra = Budak Angon = Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu seperti yang telah dikatakan oleh para leluhur nusantara di atas adalah sosok yang diharap-harapkan rakyat nusantara selama ini, yaitu sosok yang dikenal dengan nama ”SATRIO PININGIT”. Banyak pendapat yang berkembang di masyarakat luas selama ini dalam memandang dan memahami isitilah ”Satrio Piningit”. Pemahamannya tentu bertingkat-tingkat sesuai dengan kapasitas keilmuan masing-masing orang.


Satrio Piningit yang telah menjadi mitos selama perjalanan sejarah bangsa ini memunculkan misteri tersendiri. Ia merupakan perbendaharaan rahasia bumi dan langit yang teramat sulit ditembus oleh akal pikiran. Keberadaannya gaib namun nyata. Bahkan para winasis waskita pun belum tentu mampu menembus aura misterinya. Karena dalil yang berlaku seperti halnya dalam memandang Semar. Orang yang hatinya kotor dan masih diliputi dengan berbagai hawa nafsu akan sulit melihat Semar. Namun Semar dapat terlihat bagi orang yang hatinya bersih/suci dan melakoni tirakat (tapaning ngaurip/tasawuf hidup) sepanjang hidupnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak semua orang dapat menjumpainya. Semua akan terfilter secara alamiah. Atau dengan bahasa lain, jika seseorang telah mendapatkan hidayah Allah SWT maka dia dapat menjumpai Semar yang pada hakekatnya adalah pancaran Cahaya Ilahiah itu sendiri. Walaupun tidak menjumpainya namun daya-daya kehadirannya dapat dirasakan secara luas tanpa disadari. Fenomena ini dilambangkan dalam cerita pewayangan ketika ”Semar Ngejawantah” dan kemudian saatnya ”Semar Mbabar Diri” maka pecahlah peperangan ”Bharatayudha Jaya Binangun”. Perangnya kebaikan melawan keburukan. Di saat inilah kita di jagad nusantara ini sedang memasuki dan menjalani fase tersebut.


Hakekat Satrio Piningit adalah sosok seorang ”Guru Sejati”. Sosok guru yang “tidak menyebarkan ajaran ataupun agama baru” namun menebar kasih ke atas seluruh umat tanpa membedakan golongan, bangsa, suku, maupun agama atau kepercayaan. Bukan sekedar sosok Satrio Piningit atau Guru Sejati yang harus kita cari, akan tetapi yang sangat hakiki adalah ”Kebenaran Sejati” yang harus dicari atau ditembus di dalam dirinya. Maka dalam perjalanan tasawuf hal ini dikenal dengan dalil ”Man arofa nafsahu faqad arofa robbahu”  (Kenalilah Dirimu Sendiri Sebelum Mengenal Tuhan, Barang Siapa Mengenali Dirinya Maka Akan Mengenal Tuhannya).


Jika memang mendapatkan ridho dan hidayah Allah, maka beruntung jika dapat menjumpainya. Setidaknya inilah jawaban dari apa yang telah diungkapkan berkaitan dengan misteri ”Semarang Tembayat” yang tertulis di dalam Serat Musarar Joyoboyo. Telah tiba saatnya Misteri Nusantara terkuak. Sebuah Kota Baru Ditengah Hutan Tempat Para Ribuan Santri Menimba Ilmu Pengetahuan Dan Kesaktian, Di Dalamnya Berdiri Kokoh Sebuah Masjid Tiban Pusat Peradaban Dan Rahmat Untuk Seluruh Semesta Alam.

 

Dari semua referensi dan pendalaman pemahaman bathin serta pengamatan  kami dapat kami gambarkan tentang sosok Jati Diri Satria Piningit Atau Ratu Adil yang saat ini banyak jadi pertanyaan banyak orang  :

1.     Jati dirinya : Dia adalah seorang yang berjiwa muda asli pribumi yang terlahir di tanah Jawa yang memiliki tubuh yang perkasa dan berwawasan luas, memahami dan menguasai sejarah kehidupan manusia dan mampu meluruskan sejarah, memiliki kerajaan dan singgasana yang dibangun bersama pasukannya, memiliki pasukan sakti mandraguna pinayungan jimat kalimasada memiliki kesetiaan kejujuran dan amanah yang tinggi, berwawasan luas dan selalu menjunjung tinggi martabat para pemimpin sebelumnya dan tidak pernah  menghina, merendahkan atau menjelekkan, tidak memiliki jiwa pendendam walau keberadaannya selalu difitnah dijelekkan bahkan dijebloskan kedalam penjara, prinsipnya membalas keburukan dengan kebaikan, menjawab semua fitnahan dengan perbuatan dan karya nyata yang mulia, jiwanya selalu mendidik, memiliki banyak cantrik dan santri ribuan jumlahnya dari seluruh dunia, mencintai pertanian, perairan, peternakan, perikanan, menguasai banyak lahan dan pertanahan, membangun waduk-waduk dan menata bumi, membangun dan membuka jalan-jalan dan lahan pertanian baru, menggalakkan gerakan menanam penghijauan, menyelamatkan dan mengolah lahan tidur menjadi lahan produktif,  menyerukan Tirta Sangga Jaya,  membangun Tirta Kencana, menyerukan untuk memberi nama ribuan pulau-pulau yang belum memiliki nama dan memerintahkan untuk mendudukinya. Menyerukan Konsep Tanah Airku Indonesia, yang digarap jangan hanya Tanah Darat tetapi Juga Air Lautan Menjadikan Indonesia Sebagai Negara Maritim.  Pernah menyerukan dan mengingatkan masyarakat Indonesia untuk kembali kepada jati diri dengan menghidupkan kembali lagu Indonesia Raya 3 Stanza yang telah sejak lama bangsa ini melupakannya. Jadi itulah sekilas jati diri sosok satrio piningit, bukan hanya sekedar menyelamatkan  negeri ini saja tetapi sekaligus ikut berperan aktif menata kehidupan masyarakat dunia dengan slogan “Satu Tuhan – Satu Lahan – Satu Aturan ( One Lord – One Land – One Law )” Ajaran Ilahi Untuk Semua Dan mengajarkan mindset ( International Setting, International Thinking, International Soladirity ) Dan Memiliki Motto “Pusat Pendidikan Dan Pengembangan Budaya Toleransi Serta Perdamaian ( Zone Of Peace Of Democracy )”.

                                
Itulah yang menjadi landasan dasar sosok “Satrio Piningit” sebagai putra pribumi keturunan Jawa yang menggambarkan beliau dibentuk dan dibekali dengan budi pekerti yang luhur dengan jiwa kepemimpinan yang arif  bijaksana dengan membawa ajaran peradaban bangsa. Yang paling menonjol dan unik dalam mengambil alih wilayah tidaklah dengan suatu peperangan, jajahan dan pertumpahan darah, tetapi dengan memberikan suatu faham kebenaran dan konsep dalam berbangsa dan bernegara yang sesungguhnya, maka akan dipastikan wilayah-wilayah yang sekarang diluar territorial NKRI dengan sendirinya atas kemauan tanpa ada paksaan menggabungkan diri ke wilayah Nusantara ( Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake ).

 

2.     Nama Jati Dirinya adalah Sosok “Satrio Piningit” pemegang Panji Gumilang.  Panji, bermakna : Bendera, Tanda Kebesaran ( Kebanggan, Pedoman Hidup ) , Naungan ( Perlindungan ). Panji adalah gelar bangsawan di Jawa yang lebih tinggi daripada gelar raden.  Gumilang, bermakna : Gemilang, Cemerlang, Kejayaan, Keemasan, Puncak Kejayaan.

 

3.     Gelar Sebutan Dirinya adalah Sosok “Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu Sejati” Sosok Ulama Besar Berjiwa Negarawan yang nemiliki gelar sebutan “Syaykh Abdussalam“ Syaykh yang artinya Yang Dituakan jika dalam bahasa jawanya disebut Sesepuh ( Diisep, Dipuhpuh ), Diisep Ilmunya, Dipuhpuh Nasehatnya. Sepuh bukan berarti tua secara umur saja tapi Kedalaman Ilmu Dan Kebijaksanaanya dalam memberikan tuntunan hidup kepada manusia.  Nama ini juga mengingatkan dan menguatkan kita akan sosok Ratu Adil dengan gelar Satria Pinanditha, yang artinya Seorang Negarawan Tetapi Juga Seorang Ulama Besar ( Seorang Syaykh / Pinanditha / Yang Dituakan / Sinisihan Wahyu / Gudangnya Ilmu Ajaran Ilahi ).  Sedangkan Abdussalam Artinya Hamba Penyelamat / Juru Selamat / Penyelamat Negara / Penyelamat Umat.  Seorang yang berjiwa muda dan penuh semangat yang yang akan memimpin dunia”, beliau juga mempunyai sebutan sebagai guru bathin, guru bahasa, guru bumi, guru bicara dan guru besar, karena beliau sekarang sedang menempa, mendidik dan membekali pengikutnya sebagai wakil untuk nantinya bersama-sama menata dunia. jadi lengkaplah sudah nama gelar tersebut merupakan amanat kehidupan yang di emban.


Hanya orang-orang terpilihlah dan pilihan yang memiliki kepribadian dan aksebilitas sebagai sosok yang disebut dengan “Satrio Piningit”. Dialah yang mampu melaksanakan semua tugas amanat kehidupan. Bersama dialah kehancuran peradapan bumi pertiwi bisa dihindarkan karena kesejatiannya melambangkan seorang Pemimpin (khalifah) utusan dimuka bumi ini yang merupakan representasi wakil dari Tuhan yang Maha Tunggal sebagai Juru Selamat Pembawa Panji Bendera Kebesaran Jaman Kejayaan Pelindung Dan Penaung  Semesta Alam Pembawa Rahmat Bagi Seluruh Alam ( Rahmatana Lin Alamiin ).

 

Tetapi sayangnya manusia / masyarakat kita tidak peka dan tidak mau melihat dengan kaca mata kebenaran, artinya dengan melihat dan mendengarkan secara langsung apa-apa yang aneh janggal yang ada sekitar kita, sehingga hanya termakan kabar atau isu yang disebarkan oleh pasukan Kalabendu untuk menjauhkan Ratu Adil dari masyarakat, jika demikian maka kita semua akan semakin jauh dari Jaman Kalasuba.

 

 

Bagaimana agar kita dapat selamat dari Jaman Kalabendu ( Kalatidha ) dan dapat menjumpai atau merasakan Jaman Kalasuba yang ditunggu semua manusia ?

 

 

Ramyang-ramyang Jagad wetan, maya-maya jagad kulon, dudu soroting surya, candra, kartika, nangin tuhu ing kono gumelaring Kraton Swargamailoka.  Ana padhang dudu padhanging rahina, ana peteng dudu petenging wengi, hanane hanung hayu hayem sarta nikmat mupangat tebih ing suker sakit, tan ana tindak sangsaya-sinangsaya.  Sanggya rasa duka cipta sinapih ing sabar darana, ingkang mijil saka dayaning hambeg lila legawa berbudi bawa leksana.

 

Gumelaring Kraton dumadi saking sasana jembar tanpa pagut, pinarbawa cahya maya hanelahi, nanging hamung senene kang semunutumanduking paningal maweh prabawa hanglam-lami temah ngalangut, wasana sembada mamangun rasa mulya.  Bebasan tanpa pepindan endahing Kraton Swargamaniloka, sanggya wewangunan mawa tejawangkawa maneka warna lir kilat ketameng hima, cahya jenar rinukmi gadhing, sinandhing warni jingga mirah delima, sinela ules nila werdi sinangga biru maya malengkung lir kluwung nginum toya, dadu kang sarta wungu, solahing teja mawarna-warna, cinawi pletiking cahya ingkang mijil saking maniking toya, temah hanyembuh endahing swasana Kraton Swargamaniloka.

 

Telenging paningal katingal wonten puraya kencana winangun joglo cinandhi rengga, payon sisiking mina Jaladri rinakit sesirapan, saking katebihan katingal gilar-gilar yayah kencana binabar.  Saka guru sela prabata tinatah ukir puspita, sinung paningset tembaga sinangling cineplok-ceplok mutyara di pepethingan, sinangga umpak geng akik swasa pinalipit kencana mulya, kinepyur wedhi manik saroja maneka warna.

 

Byar Padang Trawangan, sampun katingal, katingal ceta wela-wela gapuraning Jaman Kalaseba, mula kang eling lan waspada marang Tanda Asma Asmaning Gusti Kang Cacah 100 Kudu Den Mangerteni, Papan Panggon Panembah Kang Ageng Agunge Nora Beda Kaya Dene Masjid Al-Haram Baitullah Apa Dene Masjid Al-Aqsa Baitulmaqdis Dadi Panjer Punjering Berkah,  Boga Lan Srana Tumangkaring Jimat Kalimasada, Srana Sarana Adus Jammas Kanthi Banyu Suci Kang Den Tresnani,  Kang  Kinepung Tirto Kencana Hamangku Maskumambang, Pinayungan Sumpah Mahayu Semesta. Linambaran Dharma Kang Sampurno, Sumarah Marang Purbaning Jagad, Jati Jatining Atunggal, Hanyawiji Sawiji Dadi Kusumaning Negoro, Yaiku Kang Pinangka Dadi Pitukon Pambukaning Jaman Kalaseba.  Mula Ora Gampang Den Lampahi Kejaba Wong Kang Teteken Ati Suci Pepayung  Budi Rahayu.

 

Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, sawiji dadi saketi tumangkar hangebaki jagad raya.  Nalikanira Adus Jammas Reresik Lahir Lan Bathin Mula Mulat

Tamakna Sabda Japa Kidung Sarira Tunggal Manjing Sawiji Dadi Kansantosaning Jiwa Raga Lan Mulyaning urip Kang Sejati Mapan Langgeng Ing Swargamaniloka.

 

Artinya Sudah nampak dengan jelas terang benderang pintu gerbang jaman kalaseba atau jaman keemasan, jaman kejayaan.  Maka segeralah ingat dan waspada untuk mengenal dan memahami tanda dimana Asma Allah yang 100 diajarkan untuk dimengerti, dimana selama ini kita umat mengenal Asma Allah yang 99, dan 1 ( satu ) asama yang menjadi mutiara yang tersimpan di istana Ratu Adil. Maka kenalilah carilah karena itu menjadi kunci untuk memasuki gerbang Kalaseba !

 

Disana Ada Tempat Ibadah Yang Besar Dan Keagungannya Tidak Berbeda Dengan Masjid Al-Haram Baitullah  Dan Masjid Al-Aqsa Baitulmaqdis Yang Oleh Imam Besar Masjidil Haram dinyatakan sebagai Sebuah Tempat Wujud Dari Hakekat Sebenarnya Madinah Yang Sesungguhnya “Hadza Haqiqatul Madinah” yang menjadi pusat keberkahan penuh toleran dan damai menjadi Rahmat Bagi Seluruh Alam Semesta. Maka carilah keberadaannya, karena disana menjadi pusat cahaya diatas cahaya ( nur ala nurin ) dan menjadi sumber keberkahan hidup manusia !

 

Tempat ini adalah tempat dimana Jimat Kalimasada menjadi pusaka dan kekuatan Sang Ratu Adil dalam menata kehidupan dan hanya orang yang suci yang mampu menyentuhnya harus “teteken ati suci pepayung budi rahayu linambaran laku prihatin hamesu tapa brata cegah dahar kalawan nendra hamemulya jiwa raga” .  Artinya Gerbang Kalaseba hanya bisa dimasuki oleh orang yang mau bersuci berjammas mensucikan diri dan suka dengan laku prihatin dengan tapa brata. Maka cari taulah dimana ada tempat untuk berjammas dengan air suci yang dicintai ( bersuci dan membersihkan diri dan bersedekah jammas dengan harta halal / suci yang paling dicintai ), di sekitar Tirta Kencana yang memangku Maskumambang yang di payungi oleh Sumpah Mahayu Semesta ( “Ingsun Datan Mungkasi Pasa Sak Durunge Bisa Nyediyani Sandang Pangan Kanggo Urip Wong Sak Jagad, Ingsun Datan Ambangun Wisma Sak Durunge Bisa Mujudke Papan Kanggo Ngayomi Wong Sak Jagad, Yang Artinya : Saya Tidak Akan Berhenti Berpuasa Sebelum Bisa Menyiapkan Pakaian Dan Makanan Orang Sejagad, Dan Saya Tidak Akan Membuat Rumah Sebelum Mewujudkan Tempat Yang Bisa Menaungi Orang Sejagad )".   

 

Sebuah tempat dimana ada orang-orang mendharmakan atau mengabdikan hidupnya secara totalitas, ikhlas totalitas menyerahkan hidupnya hanya kepada Tuhan Yang Menguasai Jagad Raya, Tuhan Yang Maha Esa, hidup secara bersama-sama berjamaah bergotong royong mengabdi menjadi kusuma negara.  Maka carilah orang-orang ini dan hiduplah  bersama menjadi barisan Sang Ratu Adil

 

 

Karenanya tidak mudah dan teramat berat terkecuali bagi orang yang berpegang teguh kepada kesucian dan berbudi luhur.

 

Keberanian, Kekuatan, Kejayaan Dan Kedudukan Akan Hancur Dengan Kebijakan, Kesabaran Dan Kasih Sayang.  Satu Menjadi Seribu Berkembang Memenuhi Jagad Raya. 

 

Pada saat kamu membersihkan diri dengan berjammas, bacalah doa ini, dengan membaca doa ini akan menyatu menjadi karakter watak kepribadian jiwa luhur dan utama, sentosa lahir dan batin karena semua karakter baik para rasul, para nabi, para wali dan malaikat akan tertanam dalam sanubari kita.

 

 

DOA SARIRA TUNGGAL :

Bismillahirahmaanirrahiim

Kayu Kayon Urip Dening Kayun

 

Atiku Adam

Uteku Baginda Esis
Pangucapku Musa

Napasku Isa

Swaraku Dawud

Rupaku Yusuf

Janggaku Ismail
Pamirsaningwang Yakub

Kasektenku Njjeng Sulaiman
Ibrahim Kang Anyawa
Rambutku Idris
Kulitku Said Ali
Getihku Abu Bakar

Dagingku Umar
Balungku Usman

Sungsumku Patimah linuwih
Bebayuku Aminah

Ototku Yunus

Ususku Ayub
Jejantungku Nuh
Panduluku Nabi Khidir

Kawicaksananku Kanjeng Sunan Kalijaga

Cahyaku Muhammad

Pengapitku Para Wali Lan Malaikat

Sak kabehing wulu tuwuh dadi sarira tunggal ing para nabi lan rasul pinayungan Adam Kawa


Wiji sawiji mulane dadi

Pencar dumadi isining jagad
Dadya sarira tunggal

Sugeng Rahayu Mulya Dumadi

 

Alhamdulillah  Dumadi Dadi  Saka Kersaning Allah

 


Makna dari doa Kidung Sarira Tunggal :

Jadikan Hatiku Seperti Hati Adam Yang Menjadi Bapak Bagi Segenap Umat Manusia, Mendidik Mengayomi Melindungi Menyayangi Mengasihi Memiliki Jiwa Kepabakan Jiwa Kepemimpinan Tertanam Dalam Hatiku.

Jadikan Pikiran Dan Otakku Seperti Pikiran Esis Seorang Nabi Di Tanah Jawa Yang Memiliki Pikiran Yang Tinggi Jernih Cerdas Agung Dan Merdeka.

Jadikan Ucapanku Seperti Ucapan Musa Yang Sangat Berhati-hati Dalam Menjaga Lisannya.

Jadikan Napasku Seperti Napas Isa Yang Napas Hidup Langeng Dan Abadi.

Jadikan Suaraku Seperti Suara Daud Yang Terdengar Merdu Dan Menyejukkan Siapapun Yang Mendengarnya

Jadikan Wajahku Seperti Wajah Yusuf Yang Tampak Indah Dan Menyenangkan Bagi Siapapun Yang Mendengarnya

Jadikan Leherku Seperti Lehernya Ismail Yang Rela Dikorbankan Demi Memenuhi Perintah Allah

Jadikan Pendengaranku Seperti Pendengaran Yakub Yang Begitu Jernih Dan Terang Untuk Mendengarkan Nasehat Dan Pengetahuan Yang Baik.

Jadikan Kesaktianku Seperti Kesaktian Sulaiman Yang Memiliki Banyak Kemampuan Dan Kesaktian Untuk Mengagungkan Dan Membesarkan Kerajaan Allah

Jadikan Nyawaku Seperti Nyawa Ibrahim Yang Mampu Merasakan Dingin Saat Dibakar Api

Jadikan Rambutku Seperti Rambut Idris Yang Tampak Indah Dan Wangi Bagi Siapapun Yang Memandangnya

Jadikan Kulitku Seperti Kulit Ali Yang Tampak Bersih Indah Tangguh Dan Kuat Siap Menghadapi Berbagai Terpakan Kehidupan.

Jadikan Darahku Seperti Darah Abu Bakar Yang Siap Ditumpahkan Untuk Membela Kebenaran

Jadikan Dagingku Seperti Daging Umar Yang Siap Dikorbankan Untuk Memenangkan Perjuangan

Jadikan Tulangku Seperti Tulang Usman Tulang Yang Kuat Dan Siap Menjadi Penyangga Dan Penguat Tegaknya Kalimat Allah.

Jadikan Sungsumku Seperti Sungsum Fatimah Yang Memiliki Kelembutan Untuk Menaklukkan Keangkuhan Dan Kesombongan

Jadikan Urat Nadiku Seperti Urat Nadi Aminah Yang Siap Mengalirkan Darah Pejuang Melahirkan Pejuang Patriot Bangsa

Jadikan Ototku Seperti Otot Yunus Otot Yang Kuat Menjadi Kawat Yang Memperkuat Pertahanan Negara

Jadikan Ususku Seperti Usus Ayub Yang Tetap Selamat Dan Sehat Meski Dalam Cengkeraman Musuh

Jadikan Jantungku Seperti Jantung Nuh Jantung Yang Kuat Meski Mendapatkan Banyak Tekanan Dan Tantangan

Jadikan Pandanganku Seperti Pandangan Khidir Memiliki Wawasan Luas Dan Ilmu Yang Tinggi

Jadikan Kebijaksanaanku Seperti Kebijaksanaan Kalijaga Yang Penuh Kearifan Dan Bijaksana Dalam Menuntun Dan Membimbing Masyarakat

Jadikan Cahayaku Seperti Cahaya Muhammad Menjadi Penerang Dan Petunjuk Dalam Kegelapan Menerangi Kegelapan Hati Manusia

Jadikan Pengawalku Seperti Pengawal Para Wali Dan Malaikat Yang Memiliki Kejujuran Dan Kesetiaan

Jadikan Seluruh Bebuluan Ditubuhku Seperti Satu Kesatuan Para Nabi Dan Rasul

Satu Per Satu Menjadi Satu Maka Jadilah Satu Kesaturan Yang Menyebar Keseluruh Jagad Raya Menjadi Satu Tubuh

Maka Hiduplah Dalam Keselamatan Kesejahteraan Dan Kemuliaan

 

Puji Jadi Dengan Ijin Allah

 

Demikian Akhir Dari BAB III Mencari Keberadaan Satria Piningit Yang Dengan Berakhirnya BAB III Ini Selesai Sudah Kajian Mencari Keberadaan Satria Piningit.  Kritik Dan Saran Dapat Di Kirim Ke WhatsApp : 08157-9091-76 Atau Bagi Anda Yang Masih Penasaran Dan Ingin Lebih Jauh Memahami Kajian Ini Dapat Langsung Berkunjung Ke Omah Dalang Yogyakarta.

 

Semoga Bermanfaat.

Walhamdulillahirabbilalamiin.

 

Kaserat Dening : Ki Purbojagad Jatitunggal Kusumonegoro.

Ing : Omah Dalang

 

#HamungkasiJamanKalatidha #HamungkasiJamanKalaBendu #HamiwitiJamanKalasuba #PencariKeberadaanSatriaPiningit #SeratKalatidha #SeratJoyoboyo #SeratMusararJoyoboyo #JangkaJayabaya #JongkoJoyoboyo #Joyoboyo #Jayabaya #SeratRonggowarsito #Ronggowarsito #SeratDhamogandul #Dharmogandul #SeratSabdopalon #SabdoPalon #JamanKalasuba #PanjiGumilang #SatriaPinandhita #SyaykhAbdussalam #Jalma Pinilih #SatriaPinandhitaSinisihanWahyu #RatuAdil #ImamMahdi #ImamMahad #PutraBataraIndra #BudakAngon #NayaGenggong #SemarNgejowantah #SemarangTembayat #KotaSantri #TrisulaWeda #Mabadi’ulTsalasah #SwargoManiloka #SedekahJammas #PintuGerbangJamanKalasuba #PintuGerbangSwargomaniloka #KidungSariraTunggal #AsmaulHusna100 #AsmaulHusna #JimatKalimasada #BabadAlasWanamerto #JagadAnyar #SesajiRajaSoya #GagrakAnyar #KratonAnyar #MahayuSemesta #SumpahMahayuSemesta #TirtaKencana #AdusJammas #SedekahJammas #SesuciDiri #GolekSlamet #NgudiMulya #MangkuMasKumambang #IndonesiaRaya3Stanza #IndonesiaKuat #RahmatanLilAlamiin

 

Saksikan Perkembangan Update Program Jammas  Di Channel Youtube “Omah Dalang

Silahkan Like & Subscribe Channel Omah Dalang Untuk Mendapatkan Video Menarik Dan Berbobot Penuh Dengan Ajaran Budi Pekerti Luhur !

Link Channel Omah dalang : https://www.youtube.com/c/OMAHDALANG

 

 

 


Komentar